- Sabtu, 20 Februari 2016
- Dilihat: 11353
Kemajuan suatu negara tidak dapat dipisahkan dari peran birokrasi negara tersebut. Premis ini mengisyaratkan bahwa jika terdapat permasalahan dalam pembangunan negara, maka dapat disimpulkan bahwa juga terdapat permasalahan dalam birokrasi negara tersebut. Indonesia sebagai contoh, meskipun memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan stabil dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, namun masih terdapat permasalahan pembangunan yang membutuhkan kerja keras untuk mengimbangi angka pertumbuhan ekonomi tersebut, antara lain adalah: (1) Ketersediaan infra-struktur yang belum memadai; (2) Korupsi, kolusi dan nepotisme yang masih marak berbagai lapisan, baik di sektor formal maupun informal yang mengkibatkan inefisiensi ekonomi; (3) Angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang relatif tinggi; serta (4) Otoniomi daerah yang belum memberi hasil yang menggembirakan.
Permasalahan pembangunan di atas antara lain disebabkan oleh permasalahan birokrasi Indonesia yang sangat kompleks dan terkait dengan berbagai pemangku kepentingan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain: organisasi yang belum tepat fungsi dan ukuran serta masih terdapat tumpang tindih kewenangan; pola pikir dan budaya kerja yang belum berorientasi pada kinerja, regulasi yang multi tafsir dan tumpang tindih; SDM aparatur yang tidak kompeten; dan kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi ekspektasi masyarakat.
Kompleksitas permasalahan dan beragamnya pemangku kepentingan yang terlibat menjadi salah satu pertimbangan penting dalam penggabungan Deputi Program PAN dan RB dengan Deputi Bidang Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur menjadi Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan (Deputi I) pada tahun 2013. Sasaran yang diharapkan dari penggabungan ini adalah terjadinya koordinasi yang terpadu dan harmonisasi dalam perumusan maupun implementasi kebijakan di bidang reformasi birokrasi, khususnya pada area perubahan akuntabilitas dan pengawasan sehingga sasaran reformasi birokrasi yang terkait, yaitu: terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, dan meningkatnya akuntabilitas kinerja aparatur dapat dicapai sesuai dengan target yang ditetapkan.
Dengan demikian, Deputi I memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung visi, misi serta tugas fungsi Kementerian PAN dan RB sebagai penggerak utama (prime mover) reformasi birokrasi di Indonesia. Secara spesifik peran ini terkait dengan tugas menyiapkan perumusan, koordinasi pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan reformasi birokrasi, akuntabilitas aparatur, dan pengawasan agar pelaksanaan kebijakan PAN dan RB pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dapat berjalan dengan baik.
Tugas untuk menyiapkan perumusan kebijakan dipandang sangat strategis karena berkaitan dengan menyiapkan berbagai kebijakan yang akan digunakan sebagai pedoman pelaksanaan reformasi, penguatan akuntabilitas dan peningkatan efektivitas pengawasan bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu dalam menyiapkan kebijakan dan instrumen harus dilakukan secara cermat. Kesalahan dalam menyiapkan kebijakan bukan hanya menimbulkan pemborosan dan kehilangan momentum, tetapi juga akan memiliki dampak yang besar terhadap risiko kegagalan reformasi birokrasi.
Tugas lain dari Deputi I adalah mengkoordinasikan pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan juga tidak kalah pentingnya karena terkait dengan bagaimana kebijakan reformasi birokrasi, penguatan akuntabilitas kinerja, dan peningkatan efektivitas pengawasan dapat diimplementasikan dengan baik oleh Kementerian/Lembaga dan Pemda, sehingga hasil dari reformasi birokrasi, peningkatan akuntabilitas kinerja dan pengawasan internal pemerintah dapat dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai koordinator pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi, maka Deputi I harus mampu berperan sebagai penggerak (trigger mechanism).